Masih ada Upaya Hukum tapi surat Konstatering dikeluarkan Ada apa dengan Pengadilan Negeri Mataram?

Masih ada Upaya Hukum tapi surat  Konstatering dikeluarkan Ada apa dengan Pengadilan Negeri Mataram?
Lombok Barat, NTB (Berita Bumigora) - Warga setempat menentang surat penetapan konstatering yang dikeluarkan oleh PN Mataram Nomor: 142/Pdt.G/2019/PN.Mtr tanggal 24 Januari 2024 yang dimohonkan oleh Muksin Maksun, pengeluaran surat penetapan ini diduga prematur dan lemah secara hukum.

Di temui di Gili Sudak Andi Yusuf tim hukum dan pengelola lahan Ibu Debora Sutanto pada (22/03/2024) menuturkan asal muasal lahan yang disengketakan Muksin Maksun c's awalnya Ibu Debora Sutanto membeli lahan di Gili Sudak Dusun Medang Sekotong Lombok Barat atas dasar sertifikat pada tahun 2015 dari Ibu Emita Dwina Taihutu yang awalnya di miliki oleh Bapak Virianadi Haryanto Tejo Prayitno (Bitsu) dimana proses penerbitan sertifikat itu dilakukan oleh Bapak Virianadi pada tahun 2004 dan selama proses penerbitan sertifikat tersebut tidak ada persoalan atau keberatan yang di ajukan oleh siapapun termasuk penggugat saat ini Muksin Maksun.

"kami pun heran kok tiba-tiba pada tahun 2017 masuk gugatan dari Muksin Maksun yang jelas-jelas tidak pernah menguasi tanah tersebut karena saya yang selalu menjaga dan memelihara apapun yang ada di tanah ini, juga tanah ini dibeli sudah berganti pemilik berkali-kali dan itu sudah berganti nama sertifikat itu berkali-kali yang mulai dari Pak Virianadi, Ibu Emitha dan sampai Ibu Debora di tahun 2015” Tutur Andi Yusuf Tim Hukum Debora Sutanto.

Menurut Andi Muksin Maksun, sempat datang ke lokasi pada bulan Mei tahun 2017 dengan berpura-pura menanyakan lahan yang akan di beli dengan luas +\- 2 hektar yang dimiliki oleh I Putu Romi Yuliawan akan tetapi dikesempatan itu mereka lebih sering menanyakan tentang tanah-tanah yang lain yang disengketakan oleh Muksin Maksun termasuk tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh Ibu Debora Sutanto kepada dirinya namun Andi menjelaskan bahwa tanah yang dimiliki oleh Ibu Debora telah bersertifikat jauh sebelum mereka datang ke Gili Sudak.

"Dari mana Ibu Debora membeli tanah, yang saya bisa terangkan bahwa Ibu Debora membeli tanah ini sudah bersertifikat dan sebelum dibayar beliau sudah melakukan pengecekan di BPN Lombok Barat sebelum membayarnya," jelas Andi Yusuf. 

Namun keesokan harinya Andi malah mendapat kabar  dari penjaga di Gili Sudak bahwa Muksin Maksun dengan melibatkan banyak orang masuk Lagi ke Gili Sudak dan memasang patok, namun dilarang Andi dan orang yang menjaga lahan tersebut.

"Kami bersama yang menjaga lahan itu tidak setuju dengan pemasangan patok itu karena belum ada dasarnya" ungkap Andi. 

Sementara itu, tim hukum yang tergugat lainnya yang mempunyai permasalahan yang sama yaitu Sutanto Kuniandi menjelaskan  bahwa dengan dasar jual beli yang diduga dilakukan secara bawah tangan pada tahun 1974, yang dinilai pihaknya tidak dilakukan dengan mekanisme aturan ke keagrariaan. Kemudian dilegalisasi bukan oleh pejabat setempat. Bahkan kata dia, legalisasi dilakukan di Ampenan, Lingkungan Barat Peken Kota Mataram, yang seharusnya disahkan oleh Kepala Desa Sekotong Barat.

"Jadi kan tidak cocok. Padahal lokasinya ada di Sekotong dan berbeda kecamatan” ketus Kurniandi. 

Karena dia menyebut, jika berbicara logis, orang yang mengaku memiliki tanah tersebut sejak tahun 1974 itu seharusnya telah menguasainya. Entah dengan beraktifitas, membuka bisnis, bercocok tanam dan sebagainya di sana. 

"Ini kan tidak logis, sertifikat (Debora Susanto) yang dari 2004  kemudian dimanfaatkan  sampai sekarang. Lalu kenapa dipermasalahkan sekarang?," tanyanya heran. 

Begitu pun kata dia soal dasar gugatan untuk dilakukan Peninjauan Kembali (PK) untuk menentukan batas luas dan letak yang telah dilakukan oleh pihak penggugat. Yang dalam gugatan pemohon eksekusi tersebut, didasari atas pemetaan dan pengukuran kadastral yang bertujuan untuk menerbitkan sertifikat. Dengan menurunkan tim BPN untuk harus turun mengukur, memasang patok, dan melakukan sandingan.

Atas permohonan eksekusi yang dilakukan itu, saat ini ada dua pihak yang melakukan perlawanan. Namun  pihak Debora Sutanto yang saat ini tengah dalam proses persidangan. Debora mengambil langkah hukum verzet untuk mempertahankan tanah yang memang hak yang dibeli dengan mekanisme yang diatur hukum agraria dan hukum jual beli tanah yang disahkan negara.

"Bu Debora sidangnya sudah mulai berjalan. Dan untuk yang lain sidang pertama di tanggal 28 nanti," bebernya. 

Kendati demikian, Kurniadi mengaku tetap menghormati keputusan PK tersebut. Tetapi berbicara prinsip kepastian hukum, pihaknya berupaya melakukan perlawanan atau bantahan yang sudah masuk ke pengadilan. 

"Beberapa substansi yang dipermasalahkan seperti posisi, letak, luas dan sebagainya. Kemudian amar yang tidak komplit, yang dalam amar putusannya tidak ada perintah untuk membongkar.  Sehingga mereka tidak bisa membongkar ini. Karena mereka harus lakukan sesuai amar putusan. Itu juga kelemahannya," tegas pria berambut gondrong tersebut.

Sehingga dia menyebut, masyarakat pun tetap bergerak dan menolak tanpa terkoordinir sampai kapanpun.

"Masyarakat bergerak secara sukarela, karena melihat persoalan ini menghambat sektor pariwisata," sebutnya. 

Warga mempertanyakan dasar dari Pengadilan Negeri Mataram mengeluarkan putusan tersebut, bagaimana bisa tetap dipaksakan mau melakukan konstatering ataupun eksekusi, sedangkan gugatan perlawanan sudah berjalan, bagaimana bisa Pengadilan Mataram sendiri tidak menghormati proses pengadilan yang berjalan di wilayah sendiri?

Dengan tegas, Kurniadi mengatakan tidak ada sama sekali orang dengan nama Muksin Maksun yang dikenal oleh masyarakat setempat. "Masyarakat yang turun tadi, adalah masyarakat setempat yang tahu silsilah. Tapi ini asing bagi mereka," jelasnya.

Sementara itu terpisah, Hendi Ronanto, selaku Kuasa Hukum pihak penggugat yang mengaku dimenangkan MA menyanggah apa yang disampaikan pihak pengacara Awanadhi Aswinabawa. 

Dimana juru sita pengadilan yang mau turun ke lahan Gili Sudak pada Kamis (21/03) siang sekitar pukul 12.00 Wita itu bukan akan melakukan eksekusi lahan. Melainkan melakukan Konstatering atau pencocokan objek terhadap objek sengketa di Gili Sudak. 

"Itu bukan ekskusi, tapi Konstatering atau pencocokan data antara berkas dengan batas-batas di lapangan, apa kondisi terakhir di lapangan. Jadi keliru dan berlebihan kalau itu dibilang itu eksekusi, karena penetapan eksekusi belum keluar," jelas Hendi.

Di mana sejauh ini, negara melalui lembaga yudikatifnya yang telah mengeluarkan putusan MA yang memenangkan pihaknya. 

"Kami memegang putusan PK nomor 366 tahun 2023 bulan Agustus. Kami menang," tegasnya.

Karena pihaknya menang PK, maka negara memberikan hak ke kliennya atas lahan tersebut. Sehingga dia mengatakan, bahwa pihaknya bertindak bukan di luar hukum yang berlaku. Dia menyebut, konstatering ini merupakan bagian dari proses prosedur menuju eksekusi lahan yang dimohonkan oleh kliennya. 

Terkait kapan lahan itu akan dieksekusi, kata dia, itu akan ditentukan oleh pihak Pangadilan Negeri Mataram. Di mana pengajuan permohonan eksekusi yang dilakukan pihaknya itu atas dasar putusan MA yang sudah Incrah atau berkekuatan hukum tetap atas hak dari kliennya. 

Kliennya sendiri merupakan ahli waris dari pemilik lahan itu, yang membeli secara adat pada tahun 1974. Dan itu diakui oleh negara. Mereka yang pertama hadir di lahan itu. Dan lahan itu digarap oleh dua warga, yang telah bersumpah di persidangan. Kemudian lahan dalam proses sengketa, sidang pertama di PN Mataram, pihaknya dimenangkan. Kemudian pihak tergugat melakukan upaya banding, pihaknya juga menang. Pihaknya kalah pada tingkat kasasi, kemudian Pihaknya mengajukan PK ke MA. Dan Pihaknya pun dimenangkan. 

Sehingga pihaknya mengajukan permohonan eksekusi atas lahan tersebut. Pihaknya juga meminta agar kubu tergugat menghormati putusan MA ini, bahkan Putusan MA memerintahkan segera melakukan pengosongan.