Kadisnakertrans ajak jajarannya identifikasi area layanan yang rawan terjadi gratifikasi

Kadisnakertrans ajak jajarannya identifikasi area layanan yang rawan terjadi gratifikasi
Mataram, NTB (Berita Bumigora) - Dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait hasil implementasi Program Pengendalian Gratifikasi Tahun 2024, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos., MH., membuka kegiatan sosialisasi pemahaman gratifikasi dan assesment identifikasi titik rawan gratifikasi serta mitigasi risiko yang diselenggarakan oleh Inspektorat Provinsi NTB di Aula Disnakertrans, Kamis (20/02/2025). 

Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong Unit Pengendalian Gratifikasi agar lebih aktif dalam melakukan sosialisasi kepada pihak internal maupun eksternal serta mengupayakan langkah konkret dalam mitigasi risiko. Dimana kegiatan ini diikuti oleh puluhan pegawai lingkup Disnakertrans, UPTD Pengawas Ketenagakerjaan dan K3 Pulau Lombok & Pulau Sumbawa, serta Balai Latihan Kerja Dalam dan Luar Negeri (BLKDLN) NTB. 

Dalam pembukaannya, Aryadi mengatakan dengan adanya identifikasi titik rawan gratifikasi pada unit kerja yang memiliki risiko tinggi, diharapkan dapat diambil langkah perbaikan yang lebih efektif guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas dan pelayanan publik.

Ia menyoroti pentingnya budaya kerja yang disiplin dan berintegritas. “Kalau kita mengundang acara jam 8, tapi baru mulai jam 9, bagaimana kita bisa membangun budaya kerja yang baik? Masyarakat sudah menunggu, sementara kita masih bersantai di rumah. Ini yang perlu kita perbaiki,” ujarnya.

Gratifikasi harus dicegah, bukan sekadar dikendalikan. Jika hanya berbicara soal pengendalian, maka seolah-olah gratifikasi boleh dilakukan selama ada batasnya. Padahal, seharusnya dicegah agar tidak menjadi kebiasaan buruk yang berkembang menjadi pemerasan atau suap.

Aryadi juga mengajak peserta untuk memahami perbedaan antara gratifikasi yang bersifat suap dengan bentuk penghormatan dalam budaya dan agama. Ia mencontohkan tradisi memberikan hadiah kepada penghulu saat pernikahan, yang dalam budaya lokal merupakan bentuk penghormatan, bukan gratifikasi. “Jika kita menikahkan anak dan memberikan Rp1 juta kepada penghulu, apakah itu gratifikasi? Dalam budaya kita, ini adalah bentuk penghormatan. Harus ada batasan yang jelas dalam memahami hal ini,” katanya.

Selain itu, Ia juga menyinggung tentang kewajiban mendukung kehidupan pemuka agama yang tidak diperbolehkan bekerja. “Ketika saya memberikan Rp5 juta kepada seorang pemuka agama yang menikahkan anak saya, apakah itu gratifikasi? Tidak, karena ini bagian dari kewajiban dalam konsep budaya dan agama,” tegasnya.

Aryadi menekankan pentingnya regulasi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam mencegah gratifikasi di sektor pelayanan publik.

Setiap surat masuk harus memiliki dasar yang kuat. Kesalahan administrasi sekecil apa pun bisa berdampak besar.

Pemahaman regulasi dalam pengawasan tenaga kerja asing sangat penting. Pengawas tenaga kerja harus memahami bahwa yang diawasi adalah perusahaan, bukan individu pekerja asing itu sendiri.

Menghadapi tantangan ini, Disnakertrans NTB berkomitmen dalam menjaga integritas dan profesionalisme dalam pelayanan publik dan mengingatkan bahwa seluruh aparatur harus memahami kewenangannya agar tidak terjebak dalam praktik yang berpotensi melanggar hukum.

“Kita di sini bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk mencari solusi agar sistem yang ada semakin baik dan transparan. Harapan kami kegiatan ini dapat memperkuat pemahaman tentang pentingnya pencegahan gratifikasi serta mendorong penerapan kebijakan yang lebih transparan dan akuntabel dalam sektor ketenagakerjaan di NTB,” tutupnya.