Disnaker ajak Perusahaan & Serikat Pekerja lakukan evaluasi hubungan industrial di NTB |
Kegiatan ini bertujuan untuk memetakan kondisi hubungan industrial, baik secara makro maupun mikro, di lingkungan perusahaan dan akan dikompilasi menjadi data nasional untuk mendukung sistem peringatan dini (early warning system). Kegiatan ini diikuti oleh 35 peserta dari unsur tripartit, yaitu mediator hubungan industrial dari dinas tenaga kerja, perwakilan manajemen perusahaan, dan perwakilan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh.
Direktur Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial yang diwakili oleh Koordinator Bidang Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial, Fritz Simon Saortua, S.E., M.M., dalam sambutan pembukaannya menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha dalam menghadapi tantangan hubungan industrial, seperti perselisihan hak, PHK, dan tuntutan kesejahteraan.
Data menunjukkan selama Januari - Oktober 2024 tercatat 211 kasus mogok kerja melibatkan 28.197 tenaga kerja dengan 225.576 jam kerja yang hilang. Selain itu, terdapat 5.653 kasus perselisihan hubungan industrial, di mana 67% didominasi oleh kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sebagai langkah antisipasi, aplikasi digital Penilaian Hubungan Industrial dikembangkan untuk memetakan kondisi hubungan industrial perusahaan. Aplikasi ini bukan hal baru. Sebelumnya sudah diluncurkan pada 2016, namun sempat terhenti akibat pandemi COVID-19 dan kini dikembangkan kembali dengan berbagai pembaruan.
Fritz menjelaskan bahwa data yang terkumpul akan diklasifikasikan dalam tiga kategori: merah (kondisi tidak aman, hubungan industrial rawan konflik), kuning (kondisi kurang aman), dan hijau (kondisi aman, hubungan industrial harmonis).
“Dari 1.700 data perusahaan yang masuk, hanya 200 perusahaan yang masuk kategori hijau, sementara 70% masih berada di kategori merah," ujarnya.
Fritz juga menyoroti bahwa data dari NTB belum masuk ke dalam aplikasi. Oleh karena itu, ia berharap melalui kegiatan ini, perwakilan perusahaan di NTB dapat berkontribusi dengan mengisi aplikasi penilaian. Dengan pendekatan ini, hubungan industrial diharapkan beralih dari sekadar menyelesaikan konflik menjadi upaya pencegahan.
“Kami mengajak seluruh perwakilan perusahaan untuk memanfaatkan aplikasi ini. Dengan informasi yang terkumpul, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan harmonis,” pungkas Fritz.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H., yang menjadi narasumber pada kegiatan tersebut menyoroti pentingnya kualitas hubungan industrial yang tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga implementasi di lapangan. Ia mengajak seluruh pihak untuk melakukan identifikasi dan evaluasi kritis terhadap aspek-aspek yang menghambat hubungan industrial yang harmonis, adil dan berkelanjutan untuk dicarikan solusinya kedepan.
"Kualitas hubungan industrial harus dilihat dari bagaimana implementasinya dalam kehidupan nyata di perusahaan. Ini menjadi tantangan sekaligus masukan bagi kami di pemerintah, agar kebijakan yang dibuat relevan dengan kondisi di lapangan," ujarnya.
Aryadi memaparkan bahwa Provinsi NTB memiliki karakteristik unik dalam ketenagakerjaan dengan jumlah angkatan kerja yang terus bertambah. Pada periode Agustus 2023 hingga Agustus 2024, terjadi peningkatan sebesar 216.340 orang, sehingga total angkatan kerja mencapai 3,19 juta jiwa. Meskipun tingkat pengangguran menurun secara persentase dari 2,80% menjadi 2,73%, jumlah pengangguran meningkat menjadi 87.010 orang karena pertumbuhan angkatan kerja yang signifikan.
Sektor pertanian tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar dengan kontribusi 36%, diikuti sektor perdagangan, konstruksi, dan industri pengolahan. Sektor tambang, meskipun memberikan kontribusi besar terhadap PDRB, hanya menyerap sekitar 16% tenaga kerja. Dominasi sektor informal di NTB menimbulkan tantangan tersendiri dalam menciptakan pekerjaan yang lebih formal dan berkelanjutan.
Aryadi menegaskan bahwa salah satu tantangan besar adalah mismatch kompetensi tenaga kerja dengan kebutuhan industri, yang mengakibatkan banyak posisi strategis tidak terisi. Sebanyak 41,4% tenaga kerja di NTB berpendidikan SD ke bawah yang berdampak pada sulitnya mengisi jabatan formal di perusahaan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya sertifikasi profesi sebagai bagian dari pelatihan kompetensi dalam program PePaDu Plus.
“Tanpa sertifikat profesi, sulit bagi tenaga kerja kita untuk bersaing di tingkat nasional maupun global,” ujarnya.
PePaDu Plus juga berperan sebagai jembatan untuk mengatasi tantangan mismatch kompetensi antara dunia pendidikan vokasi dan kebutuhan industri. Dengan memanfaatkan bursa kerja khusus (BKK) yang terintegrasi di SMK, program ini berhasil menurunkan tingkat pengangguran lulusan SMK di NTB secara signifikan dari 8,24% menjadi 4,73%.
Aryadi memaparkan laju pertumbuhan lembaga pelatihan kerja (LPK) di NTB sangat pesat. Saat ini tercatat telah mencapai 353 lembaga, dengan rincian Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas sebanyak 66 lembaga, BLK/LLK milik pemerintah sebanyak 9 lembaga, dan sisanya adalah LPKS. Dari jumlah tersebut, sebanyak 157 LPK telah terakreditasi secara nasional. Namun, tantangan utama adalah memastikan lembaga-lembaga ini mematuhi norma ketenagakerjaan.
“Kami terus meningkatkan pengawasan terhadap lembaga pelatihan, termasuk menindak tegas kasus penipuan rekrutmen oleh LPKS ilegal,” tambahnya.
Lebih lanjut, untuk masalah kenaikan UMP/UMK masih menunggu informasi dari pemerintah pusat. Yang seharusnya di Provinsi/Kabupaten/Kota sudah menetapkan besaran upah minimum, hal ini menjadi molor beberapa saat.
Karena itu, pihaknya terus melakukan pembinaan dan mendorong perusahaan agar menerapkan dan menyusun struktur dan skala upah (SuSU). Ia menekankan bahwa sistem pengupahan yang selama ini fokus pada Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sering kali tidak adil bagi pekerja berpengalaman yang memiliki kompetensi dan etos kerja tinggi.
Terkait perlindungan sosial bagi pekerja formal dan informal, saat ini hanya 60% pekerja formal yang terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan, sementara pekerja informal baru mencapai 9,3%. Upaya terus dilakukan untuk memperluas cakupan perlindungan sosial, termasuk melalui pemanfaatan Dana Bagi Hasil (DBH).
Aryadi menyampaikan bahwa NTB menjadi percontohan nasional dalam pemanfaatan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk melindungi pekerja bukan penerima upah, seperti petani, nelayan, dan pedagang kecil.
Dalam aspek keselamatan kerja, Aryadi menjelaskan bahwa dari 18.061 perusahaan terdaftar di NTB, jumlah perusahaan yang telah menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (SMK3) mencapai 1.300 perusahaan. Karena itu, ia mendorong kepatuhan perusahaan terhadap regulasi, termasuk melaporkan informasi lowongan kerja melalui sistem Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP) sebagaimana diatur dalam Perpres 57/2023.
"Hubungan industrial yang baik harus didukung dengan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama yang jelas, adil, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kami juga mengimbau perusahaan untuk membangun komunikasi yang efektif dengan pekerja, mengutamakan langkah preventif dalam menyelesaikan perselisihan, serta memastikan kesejahteraan pekerja melalui upah yang layak dan skala pengupahan yang transparan," imbaunya.
Harapannya, evaluasi ini menjadi momentum penting untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik di NTB.
“Kami optimis bahwa melalui kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, hubungan industrial yang harmonis dan berkelanjutan dapat tercapai,” tutup Aryadi.